Headlines News :

BERITA BLOG

Total Tayangan Halaman

"Orang Kecil Berbicara"

TEMAN BLOGGING

    KOMENTAR DARI FACEBOOK

    www.facebook.com/suriadinata1

    GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLARI


    Mendidik, pada dasarnya adalah mengembangkan potensi kemanusiaan anak menuju kedewasaan. Dua tokoh pendidikan yang memiliki kridibelitas dalam bidangnya, Ki Hajar Dewantoro dan Benyamin S. Bloom (1956) merumuskan, ada tiga ranah potensi yang dimiliki setiap anak manusia, yaitu cipta, rasa dan karsa (Ki Hajar Dewantoro). Bloom menyebutnya cognitif, apektif dan psikomotor.
    Ranah kognitif (cipta) adalah potensi kecerdasan. Setiap anak diwarisi “Sang Pencipta” kekuatan otak (akal). Akal dikaruniakan Allah SWT untuk mengetahui dan memahami persoalan-persoalan dalam kehidupan. Sejak dini kemampuan akal harus dirawat dan dilatih agar tumbuh semakin tajam. Ranah apektif (rasa) adalah potensi yang menyangkut hati atau rasa. Dengan hati atau rasa  manusia mampu menentukan sikap mana yang baik dan mana yang buruk, mampu memilih yang pantas atau tidak pantas untuk diucapkan atau dilakukan. Ini berkaitan dengan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan ranah psikomotor (karsa) adalah potensi untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan memanfaatkan inderanya. Ranah ini berkaitan dengan keteramilan melakukan atau mengerjakan sesuatu.
    Guru memiliki kewajiban profesi mengembangkan ketiga ranah tersebut dengan melalui metode pembelajaran yang konferhensip, sebab ketiga ranah tersebut tidak bisa dipisahkan. Dalam proses pertumbuhan jasmani maupun rohani dia saling terkait. Oleh karenanya, pengembangannyapun harus dilakukan seiring (simultan) yang seimbang. Manusia yang paripurna adalah yang memiliki keseimbangan dalam mengembangkan ketiga potensi tersebut. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki modal profesi yang mumpuni dalam mengembangkan ketiga ranah tersebut.
    Sesuai dengan pilosofinya, guru harus cerdas, guru harus memegang teguh nilai-nilai, dan guru harus terampil. Jika demikian maka seorang guru bukan hanya mampu mentranfer berbagai ilmu pengetahuan, tapi guru juga harus mampu mencerminkan diri (merefleksikan) sebagai pribadi yang memegang teguh nilai-nilai (nilai agama dan nilai masyarakat) serta guru harus mampu memberikan pelatihan-pelatihan untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu.
    Ditengarai, bahwa guru saat ini lebih cenderung “memaksakan” anak didiknya untuk menjadi murid yang cerdas, pandai. Bahkan gelar juara kelaspun diberikan kepada mereka yang paling cerdas, atau paling pintar di kelasnya. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh berbagai hal. Pertama ; tuntutan kurikulum.
    Sampai saat ini kurikulum pendidikan kita menentukan bahwa ujung dari proses pembelajaran adalah test tertulis yang contennya adalah kemampuan “mengetahui atau memahami”. Sedang test sikap (nilai) dan keterampilan sering terabaikan. Bisa dilihat dengan jelas, bahwa sesorang siswa bisa dikatakan berhasil dalam belajarnya ketika mendapat nilai baik dalam ujian nasional. Lalu, bagaimana dengan sikap dan keterampilannya ?
    Masyarakat menilai bahwa kondisi masyarakat kita saat ini yang cenderung banyak melakukan pelanggaran (hukum dan norma), karena produk pendidikan kita hanya memiliki kemampuan intelektual. Sedangkan sikap moral, nilai-nilai kehidupan kurang mendapat porsi yang memadai. Ditambah lagi dengan miskinnya akan keterampilan (kerja).
    Barangkali hal inilah yang memotivasi masyarakat untuk mendorong dunia pendidikan kita agar menyadari hal ini, dan segera merubahnya. Namun demikian upaya pemerintah untuk melakukan perubahan tersebut sering juga dinilai salah. Yang paling sering menjadi kambing hitam kegagalan pendidikan adalah kurikulum. Tidak heran ketika menteri pendidikan dituntut memperbaiki pendidikan, yang paling dulu dirombak adalah kurikulum. Padahal dalam dunia pendidikan ada yang lebih substansial, yaitu guru.  Dan ini sudah tidak diragukan lagi, bahwa dalam proses pendidikan , guru menempati posisi paling strategis.
    Tulisan ini tidak bertujuan memojokkan posisi guru, tapi bila benar kita ingin memperbaiki dunia pendidikan kita, perhatian kita harus tertuju ke arah guru. Bagaimana kesejahteraannya. Bagaimana sarana dan pra sarana melaksanakan tugasnya. Bagaimana situasi psikologisnya. Termasuk persoalan ;  apakah guru memahami, meyakini dan menyadari bahwa tugas mereka adalah mengembangkan potensi-potensi anak secara utuh, bukan hanya kecerdasan dan kepintaran (kognitif) semata ? Apakah guru-guru kita saat ini sudah memiliki sikap, moral, perilaku yang baik berdasarkan nilai-nilai agama dan masyarakat ? Apakah guru-guru kita sudah mampu merefleksikan sikap, moral, perilaku yang baik berdasarkan nilai-nilai agama dan masyarakat di depan mata para siswanya ?
    Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu harus disikapi dengan jujur dan mawas diri, untuk mendapatkan jawaban yang tepat dan benar. Bukan tidak mungkin kegagalan ini disebabkan egois berlebihan dan tak mau menganalisa diri kita sendiri, bahkan tak mau dikoreksi.
    Dengan tidak mengenyampingkan segala prestasi dan hal positif lain yang dipersembahkan para guru kita, persoalan moralitas, sikap dan nilai-nilai yang diperlihatkan guru kepada siswanya harus baik dan berdampak positip. Dan saya masih percaya bahwa masih banyak guru yang memiliki moralitas, sikap dan nilai-nilai yang baik bahkan sangat baik, diperagakan didepan kehidupan siswa-siswanya, dan juga tidak menutup mata masih ada guru yang moralitas, sikap dan nilai-nilai nya yang kurang baik, terutama dalam kontek melaksanakan tugas sebagai guru.
    Seorang pejabat pendidikan di Disdikpora Kabupaten Karawang mengatakan : “ Bukan tidak mungkin ketika sikap moral dan perilaku para siswa menjadi kurang baik, disebabkan oleh proses imitasi dan identifikasi siswa terhadap perilaku buruk gurunya yang sering disaksikan sehari-hari. Salah satu contohnya guru yang sering tidak datang melaksanakan tugas (mangkir). Perbuatan guru tersebut dinilai “lalai, kurang tanggungjawab, dan tidak disiplin” Dan itu diidentifikasi dan diimitasi murid-muridnya. Rekaman atas perbuatan gurunya itu akan melekat pada memori jiwa anak didik dan akan dibawa pada kehidupan dimasa berikutnya. Sungguh berbahaya. Ibarat tumbuhan, guru adalah ; air, pupuk dan pagar.  Maka bila tumbuhan tersebut tak disiram, tak dipupuk dan tak dipagar, walau hanya sehari, pasti pertumbuhannyapun menjadi terganggu,”
    Pejabat itupun menyambungnya : ”Bagaimana mungkin bisa menularkan karakter bangsa yang baik, kalau karakter gurunya kurang baik.”
     
    Support : YPK | JKR | JKR
    Copyright © 2010 okabe.com - All Rights Reserved
    JOKER JOKER Published by JOKER
    Proudly powered by POSTING